Cerpen September
Kategori: Cerpen Cinta, Cerpen Lucu (Humor), Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 27 November 2017
September adalah bulan keramat. Bulan dimana aku selalu mendapatkan ucapan selamat dan todongan makan-makan yang salah alamat. Ini semua gara-gara nama yang disematkan oleh orangtuaku kala aku baru saja dilahirkan dengan selamat. Ya, ternyata selamat tidak hanya menemani Neil Amstrong saat ke bulan. Namun mengiringi perjalananku juga, dari nirwana ke dunia fana. Sungguh aku belum sempat berterimakasih kepada selamat. Tapi tak apalah, pasti selamat akan memakluminya.
Sebenarnya aku lahir pada bulan Januari, namun berhubung saat itu ibuku tengah menyukai lagu milik Vina Panduwinata, maka beliau menamaiku dengan judul lagunya. Kabarnya Ayahku protes tapi tidak bisa berkutik padahal beliau ingin menamaiku dengan nama Junijuli.
Tidak seperti September sebelumnya, September kali ini aku terbebas dari segala tingkah aneh teman-teman SMAku yang selalu pura-pura tidak tahu bila aku tidak dilahirkan di bulan September. Aku bisa sedikit bernafas lega karena tidak akan ada yang melempariku dengan telur, terigu bahkan minyak kelapa. Kadang aku berprasangka, mungkin teman-temanku tahu bila aku sedang ikut kursus membuat kue. Mereka berpikir, semakin akrab aku dengan bahan-bahan itu, maka semakin cepat berhasil lah aku menaklukan kutukan bolu kukus yang bikin pusing serius.
Pagi ini aku berdiri di lorong dalam bus kota, di antara kursi kursi yang semuanya telah terisi. Aku membelalakkan mataku tak percaya, di sana, di spion berukuran besar itu terpantul sebuah wajah menawan ala Kate Moss, sang model kawakan. Aku memegangi hidungku, menyentuh bibirku, menyelipkan helaian rambut yang mengganggu pipi ke telingaku, lalu mengagumi leher jenjang yang… ah ternyata itu bukan aku. Pantulan wajahku tertutup oleh wajah gadis di depanku. Gerhana wajah total sedang berlangsung di bus kota yang penuh sesak ini.
Jam di tangan supir angkot kampus yang bertatto itu telah menunjukkan angka 6 lebih 50 menit. Aku terbelalak. Bukan karena aku sadar akan terlambat, namun karena tattonya bermotif batik parang rusak. Rupanya, pak supir mencintai produk Indonesia. Aku pun memuja dan memujinya, hasilnya ia melesat bagai Nino Farina. Dengan senang hati, aku pun menjura. Aku
terselamatkan, masuk aula tepat ketika jarum jam panjang berada di angka dua belas.
“September Ceria.”
Semua teman satu jurusanku mengulangi perkataan senior yang terlihat gagah menyandang toa.
“Ini bukan yel-yel, saya sedang memanggil nama salah satu teman kalian, paham?” Sang senior muntab.
Aku tertawa, dalam hati saja, takut komplikasi karena mulutku kini susah diajak koordinasi akibat melihat pemandangan indah di depan sana.
Semua teman satu jurusanku mengulangi perkataan senior yang terlihat gagah menyandang toa.
“Ini bukan yel-yel, saya sedang memanggil nama salah satu teman kalian, paham?” Sang senior muntab.
Aku tertawa, dalam hati saja, takut komplikasi karena mulutku kini susah diajak koordinasi akibat melihat pemandangan indah di depan sana.
Dia bagaikan kembaran Nuno, bukan Nuno dan Yovie atau Yovi dan Nuno, tapi Nuno Bettencourt. Mendadak perutku yang belum diisi nasi ini dipenuhi dengan nada-nada yang membentuk lagu More Than Words. Ingin rasanya bernyanyi sambil menggoyang-goyangkan korek api. Tapi semuanya musnah seketika karena ternyata Nuno yang ini galaknya luar biasa.
“September!”
Aku terlonjak.
“Kamu telat, jalan jongkok bolak balik.”
Mulutku ingin protes. Namun tatapan galak kak Nuno membuatku patah semangat.
Dalam sekejap, duniaku runtuh, tulang bergemeretak, encok menyerang dan ketombe berjingkrakan dengan riang. Panas… Panas… Panas… Armand Maulana pun ikut meradang.
Aku terlonjak.
“Kamu telat, jalan jongkok bolak balik.”
Mulutku ingin protes. Namun tatapan galak kak Nuno membuatku patah semangat.
Dalam sekejap, duniaku runtuh, tulang bergemeretak, encok menyerang dan ketombe berjingkrakan dengan riang. Panas… Panas… Panas… Armand Maulana pun ikut meradang.
“September! Skot jump.”
“September! Lari keliling lapangan.”
“September! Ambil air.”
“September! Siram bunga.”
“September! Jadi patung.”
“September! Nyanyi mars KB.”
“September! Lempar batu.”
“September! Sembunyi tangan.”
“September! Lari keliling lapangan.”
“September! Ambil air.”
“September! Siram bunga.”
“September! Jadi patung.”
“September! Nyanyi mars KB.”
“September! Lempar batu.”
“September! Sembunyi tangan.”
Hari ini, aku remuk redam. Susunan tulangku berantakan. Semoga saja tulang rusukku tidak, kalau iya, bagaimana nasib kisah percintaanku. Tak mungkin aku meminta Mas Anang jadi tumbal sambil menyanyikan lagu “Jodohku”.
September tahun ini ternyata lebih kelam dari tahun sebelumnya, seharusnya aku ganti nama saja menjadi September Merana.
September tahun ini ternyata lebih kelam dari tahun sebelumnya, seharusnya aku ganti nama saja menjadi September Merana.
“September, kamu dipanggil kak April.”
Aku terperanjat mendengar suara menggelegar bak gemuruh ombak di pantai selatan.
Dalam hatiku bertanya-tanya. Kak April? Mei, Juni, Juli?
Aku terperanjat mendengar suara menggelegar bak gemuruh ombak di pantai selatan.
Dalam hatiku bertanya-tanya. Kak April? Mei, Juni, Juli?
Dari kejauhan aku melihat kak Nuno, rambutnya berkibar kibar bagai bendera setengah tiang. Segalak apapun dia, tidak membuatku berhenti mengaguminya. Ia begitu memesona sampai aku tak menyadari kalau sekarang sudah ada di hadapannya.
“September!”
Aku terperangah.
“Kamu melamun?”
Aku menggeleng sambil menundukkan kepala, bagaikan aksi mengheningkan cipta.
Dengar seluruh angkasa raya memuji…
“Pantas saja salah, sering melamun rupanya. Lihat ini.” Kak Nuno menyodorkan buku tanda tangan para senior.
Aku melihat tanda-tangan dan nama yang tertera di sana. Tidak ada yang salah.
Lalu dia menunjuk huruf-huruf yang membentuk kata Nuno di bawah tanda-tangannya yang serumit benang kusut.
“Siapa Nuno?” Dia membelalak, namun tidak menghilangkan semua pesonanya.
“Kan… Ka …”
“Kamu juara lomba mengarang tujuh belasan ya?”
Aku menggeleng. “Juara lomba makan kerupuk kak.”
Mendengar jawabanku, kak Nuno balik kanan namun tak pakai bubar jalan. Tak berapa lama, dia balik kanan lagi sambil istirahat di tempat.
“Dengar baik-baik ya, namaku April bukan Nuno.”
Mendadak aku tersadar. Ya ampun, aku malu sekali, mengapa aku semena-mena menulis nama itu. Tak fokus gara-gara rambut.
Aku terperangah.
“Kamu melamun?”
Aku menggeleng sambil menundukkan kepala, bagaikan aksi mengheningkan cipta.
Dengar seluruh angkasa raya memuji…
“Pantas saja salah, sering melamun rupanya. Lihat ini.” Kak Nuno menyodorkan buku tanda tangan para senior.
Aku melihat tanda-tangan dan nama yang tertera di sana. Tidak ada yang salah.
Lalu dia menunjuk huruf-huruf yang membentuk kata Nuno di bawah tanda-tangannya yang serumit benang kusut.
“Siapa Nuno?” Dia membelalak, namun tidak menghilangkan semua pesonanya.
“Kan… Ka …”
“Kamu juara lomba mengarang tujuh belasan ya?”
Aku menggeleng. “Juara lomba makan kerupuk kak.”
Mendengar jawabanku, kak Nuno balik kanan namun tak pakai bubar jalan. Tak berapa lama, dia balik kanan lagi sambil istirahat di tempat.
“Dengar baik-baik ya, namaku April bukan Nuno.”
Mendadak aku tersadar. Ya ampun, aku malu sekali, mengapa aku semena-mena menulis nama itu. Tak fokus gara-gara rambut.
“Karena kamu melakukan kesalahan, kamu mendapatkan hukuman. Sebenarnya aku bosan menghukum kamu. Tapi bukankah kebenaran harus selalu ditegakkan?” Kak Nuno eh Kak April berkata dengan heroiknya, gayanya sudah seperti Bill Pullman ketika berpidato sesaat sebelum menyerang pesawat Alien yang bercokol di atas area fifty one.
“Lari keliling lapangan sambil dadah dadah, dua putaran.”
Aku terpana, siang terik begini? Ya Tuhan, andai saja Engkau memberiku kekuatan seperti Godam Gundala, pasti kusambut dengan hati gembira.
“Lari keliling lapangan sambil dadah dadah, dua putaran.”
Aku terpana, siang terik begini? Ya Tuhan, andai saja Engkau memberiku kekuatan seperti Godam Gundala, pasti kusambut dengan hati gembira.
Selanjutnya aku bagaikan atlet pembawa obor PON, berlari di antara tatapan banyak mata. Di tengah perjalanan, mataku mulai berkunang-kunang, kepalaku bagai dipukul-pukul oleh palunya kangmas Thor, tulang belulangku bagai duri bandeng presto Semarang dan ototku mengendur bagai tali kolor kadaluarsa. Tiba-tiba, duniaku gelap seketika.
Aku tersadar ketika hidungku membaui aroma tajam. Rupanya tadi aku pingsan. Awalnya aku akan membuka mataku, namun aku urungkan dengan segera. Aku pikir, mengapa aku harus cepat-cepat bangun bila ada di sini membuatku dapat beristirahat sejenak melepaskan penat.
Dalam pura pura pingsanku, telingaku menangkap adu mulut yang sangat sengit. Aku memicingkan mataku, Kak April tengah bersitegang dengan wakilnya, kak Sigit.
Hidungku kembali mencium aroma tajam itu, aku bergeming.
Lalu ada tepukan halus di pipiku.
“September, tolong aku, sadarlah.” Kak April berbisik, suaranya diturunkan setengah nada bak kebiasaan GNR dan Nirvana.
Aku bertahan.
“Maafkan aku. Bukan maksudku untuk membuatmu menjadi seperti ini. Aku hanya ingin selalu melihatmu. Semakin sering aku menghukummu, semakin sering pula aku bisa berlama-lama menatapmu.” Kak April kembali berbisik, suaranya kini terdengar merdu bak Gary Cherone yang mendendangkan Love of my Life dengan mendayu.
“Mungkin Nikka Costa benar, inilah yang dinamakan First Love, cinta pada pandangan pertama.”
Hidungku kembali mencium aroma tajam itu, aku bergeming.
Lalu ada tepukan halus di pipiku.
“September, tolong aku, sadarlah.” Kak April berbisik, suaranya diturunkan setengah nada bak kebiasaan GNR dan Nirvana.
Aku bertahan.
“Maafkan aku. Bukan maksudku untuk membuatmu menjadi seperti ini. Aku hanya ingin selalu melihatmu. Semakin sering aku menghukummu, semakin sering pula aku bisa berlama-lama menatapmu.” Kak April kembali berbisik, suaranya kini terdengar merdu bak Gary Cherone yang mendendangkan Love of my Life dengan mendayu.
“Mungkin Nikka Costa benar, inilah yang dinamakan First Love, cinta pada pandangan pertama.”
Mendengar apa yang kak April ucapkan, rasanya aku ingin segera membuka mata lalu melemparkan kamus John M. Echols. Namun, untuk apa membuka mata, jam pulang masih lama. Lagipula semua ini mungkin hanya taktiknya belaka, agar aku bangun lalu meluruskan artinya. Hmm, siapa yang lebih kriminal sekarang? Tapi bagaimanapun aku merasa senang, karena rasa sukaku tidak bertepuk sebelah tangan.
Cerpen Karangan: Ika Septi
Facebook: Ika Septi
Facebook: Ika Septi
Komentar
Posting Komentar