BIOSKOP DIGITAL YANG SULIT DITOLAK KARENA PERKEMBANGAN
BIOSKOP DIGITAL YANG SULIT DITOLAK KARENA PERKEMBANGAN
Setelah tren digital terjadi dalam produksi maupun pasca produksi di
industri perfilman maka langkah digitalisasi berikutnya adalah
digitalisasi bioskop. Digitalisasi bioskop sudah terjadi di berbagai
negara termasuk di Indonesia. Grup Blitz sudah sejak berdirinya
menyediakan fasilitas ini, sementara Grup 21 konon kabarnya sudah
memesan 200 alat yang disebut DCP (digital cinema package), dan
sekitar separuhnya sudah dipasang. Sistem/teknologi yang dipakai Blitz
berbeda dengan yang dipakai 21. Pertanyaannya: apa yang terjadi apabila
DCP menjadi teknologi standar di bioskop dan kapan hal ini akan terjadi?
Sebelum kita bisa menjawab itu maka kita harus mengetahui proses
digitalisasi yang sudah berlangsung secara global maupun di Indonesia
sejak awal adanya teknologi ini.
Seperti teknologi televisi,
bioskop digital bukanlah inovasi dari satu orang atau satu grup namun
gabungan perkembangan teknologi yang diciptakan oleh bermacam-macam
orang dari bermacam-macam latar belakang dari masa yang berbeda-beda
sampai menjadi suatu standar baru di industri bioskop.
Tahun 2002 major studios
Hollywood membentuk suatu organisasi bernama Digital Cinema Initiative
(DCI). Organisasi ini diciptakan untuk menentukan standar arsitektur
untuk bioskop digital agar tercapai model yang seragam secara global,
berkualitas tinggi dan tangguh. Dengan mengacu pada standar Society of
Motion Picture and Television Engineers (SMPTE) maupun International
Organization for Standardization (ISO) maka ditentukan standar/format
tertentu yang harus diaplikasikan untuk menyiapkan master materi film,
sistem distribusinya, sampai ke urusan perlindungan isi film (content), pengacakan (encryption), dan penandaan khusus untuk menghindari pembajakan (forensic marking). Semua teknologi bioskop digital yang memenuhi persyaratan mereka disebut DCI Compliance (sesuai/cocok dengan DCI). Perbedaan dasar antara sinema analog dengan digital adalah cara pengemasannya (packaging), distribusi, dan penayangannya.
Mayoritas film-film di dunia ini masih dalam bentuk cetak kopi (release prints) atau seluloid (walaupun sudah lama diganti dengan bahan baku dasar polyester). Proses pengerjaannya dilakukan di laboratorium film dengan teknik optical printing (mencetak secara optik) dengan mesin proses positif atau ECP (Eastmant Colour Positives) secara fotokimia (photochemical).
Alat untuk memutar materi film ini adalah proyektor film analog. Pada
bioskop digital, materinya berbentuk file data digital audio maupun
gambar dengan format JPEG 2000 (gambar) dan PCM (audio) dengan resolusi
minimal 2048x1080 (2K) sesuai dengan DCI Compliance.
Proses pengerjaan mastering digital ini dilakukan dengan sistem teknologi yang disebut DCP encoding. DCP encoder mengkonversi format data digital post production ke format DCI Compliance. Format data audio dan video digital post production berbeda dengan format DCP. Untuk data video, post production menggunakan format cineon ataupun DPX, sedang untuk audio digunakan berbagai macam format tapi yang populer adalah WAV.
Secara resolusi, kopi film 35mm “tradisional” masih lebih unggul dari format DCI Compliance
yang sekarang ada. Format kopi film 35mm diperkirakan setara dengan
resolusi 8K sedangkan format tayang di bioskop digital yang paling
tinggi kualitasnya masih 4K. Kelebihan format digital adalah kejernihan
kualitas gambar yang selalu konsisten karena tidak adanya risiko gambar
cacat atau kotor karena sentuhan fisik seperti yang terjadi dengan kopi
film.
Untuk pendistribusian, idealnya produser/rumah produksi mengirim materi ke server
bioskop pada waktu dan tempat yang ditentukan lewat jaringan satelit.
Kenyataaannya, karena keterbatasan infrastruktur, sampai sekarang materi
film dikirim secara fisik dalam bentuk hard disk portable ke bioskop tujuan dan kemudian datanya ditransfer ke server bioskop.
Materi film itu baru bisa ditayangkan bila dimasukkan nomor seri khusus ke dalam sistem proteksi isi, pengacakan, dan penandaan khusus yang menempel pada materi film digital itu. Teknologi sistem proteksi isi ini disebut Key Delivery Message
(KDM). Dengan KDM, materi film digital hanya bisa dibuka dengan nomor
seri khusus pada waktu dan di tempat yang sudah ditentukan. Apabila
terjadi pembajakan di bioskop, dengan alat khusus dapat dibaca watermark digital di kopi bajakan sehingga dapat dilacak di bioskop mana dan kapan pembajakan terjadi.
Walaupun
sistem proteksi ini sangat menjanjikan untuk keamanan, justru karena
materi film sudah berbentuk data digital, banyak pihak yang malah merasa
tidak aman karena dengan mudah data dapat ditransfer dan dibuka dengan
komputer. Berbeda dengan teknologi analog, di mana pembajakan hanya bisa
dilakukan terhadap cetak kopi film di tempat tertentu seperti di gedung
bioskop ataupun dengan teknologi high end seperti telecine atau filmscanner.
Lebih Mahal
Untuk bisa memutar film digital, bioskop harus memiliki sistem perangkat pemutar film digital yang DCI Compliance. Perangkat utamanya adalah proyektor digital dengan resolusi 2K ataupun 4K. Proyektor ini terhubungkan dengan berbagai processor pengolah gambar dan audio yang ada di server bioskop. Dari segi investasi, harga pembelian proyektor digital tiga sampai empat kali lipat dari harga proyektor film. Harga proyektor digital sampai saat ini berkisar USD 150.000 sedangkan harga proyektor film analog berkisar USD 50.000. Kita belum mengetahui panjang umur proyektor digital ini karena biasanya perkembangan teknologi digital begitu pesat, hingga upgrade harus selalu dilakukan secara berkala setiap beberapa tahun. Sedangkan dengan proyektor analog, sepanjang masih belum tergantikan oleh proyektor digital, dapat awet digunakan selama 30-40 tahun. Namun di sisi lain, investasi sistem bioskop digital yang mahal di awal dipercaya dapat menekan biaya mastering, distribusi, dan penayangan film untuk jangka panjang.
Walaupun konversi ke bioskop digital terlihat pesat di tahun-tahun terakhir ini, tapi masih banyak kendala untuk menuntaskan pergantian teknologi ini. Faktor utamanya adalah biaya pemasangan sistem ke bioskop. Dengan harga proyektor digital berkisar USD 150.000 maka bioskop-bioskop kecil sulit untuk melakukan konversi. Untuk mengatasi masalah itu di negara-negara maju diberlakukan konsep Virtual Print Fee (VPF). VPF adalah mekanisme pendanaan terhadap bioskop dengan tujuan mengakselerasi konversi digital. Sekarang ini sudah terbentuk beberapa provider yang menangani VPF seperti Arts Alliance Media (AAM) yang berpusat di London dan telah banyak berperan sebagai provider dalam investasi bioskop digital di Eropa. Di Asia sendiri ada Global Digital Creations (GDC) Holding Ltd, yang berpusat di Hongkong.
Komentar
Posting Komentar